Selasa, 10 Maret 2015

OPINI AKUNTAN dan Pembahasannya

 JENIS PENDAPAT (OPINI) AKUNTAN


Ada lima jenis pendapat akuntan menurut SPAP (Standar Profesional Akuntan Publik) per 31 Maret 2011 (PSA 29 SA Seksi 508), yaitu:
  1. Pendapat wajar tanpa pengecualian (Unqualified Opinion).
  2. Pendapat wajar tanpa pengecualian dengan bahsa penjelasan yang ditambahkan dalam laporan audit bentuk baku (Unqualified Opinion with Explanatory Language).
  3. Pendapat wajar dengan pengecualian (Qualified Opinion).
  4. Pendapat tidak wajar (Adverse Opinion).
  5. Pernyataan tidak memberikan pendapat (Disclaimer Opinion).


Pendapat Wajar Tanpa Pengecualian (Unqualified Opinion)

Apabila auditor telah melaksanakan pemeriksaan sesuai dengan standar auditing yang ditentukan oleh Ikatan Akuntan Indonesia, seperti yang terdapat dalam standar profesional akuntan publik, dan telah mengumpulkan bahan-bahan pembuktian (audit evidence) yang cukup untuk mendukung opininya, serta tidak menemukan adanya kesalahan material atas penyimpangan dari SAK/ETAP/IFRS, maka auditor dapat memberikan pendapat wajar tanpa pengecualian.

Dengan pendapat wajar tanpa pengecualian, audit menyatakan bahwa laporan keuangan menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha, perubahan ekuitas, dan arus kas suatu entitas sesuai dengan SAK/ETAP/IFRS.


Pendapat Wajar Tanpa Pengecualian dengan Bahasa Penjelasan yang Ditambahkan dalam Laporan Audit Bentuk Baku 

Pendapat ini diberikan jika terdapat keadaan tertentu yang mengharuskan auditor menambahkan paragraf penjelasan (atau bahasa penjelasan lain) dalam laporan audit, meskipun tidak mempengaruhi pendapat wajar tanpa pengecualian yang dinyatakan oleh auditor. 

Keadaan tersebut antara lain:
  1. Pendapat wajar sebagian didasarkan atas laporan auditor independen lain.
  2. Untuk mencegah agar laporan keuangan tidak menyesatkan karena keadaan-keadaan yang luar biasa, laporan keuangan disajikan menyimpang dari suatu standar akuntansi yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia.
  3. Jika terdapat kondisi dan peristiwa yang semula menyebabkan auditor yakin tentang adanya kesangsian mengenai kelangsungan hidup entitas namun setelah mempertimbangkan rencana manajemen, auditor berkesimpulan bahwa rencana manajemen tsb dapat secara efektif dilaksanakan dan pengungkapan mengenai hal itu telah memadai.
  4. Diantara dua periode akuntansi terdapat suatu perubahan material dalam penggunaan standar akuntansi atau dalam metode penerapannya.
  5. Keadaan tertentu yang berhubungan dengan laporan audit atas laporan keuangan komparatif.
  6. Data keuangan kuartalan tertentu yang diharuskan oleh Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) namun tidak disajikan atau direview.

Pendapat Wajar dengan Pengecualian

Kondisi tertentu mungkin memerlukaan pendapat wajar dengan pengecualian. Pendapat wajar dengan pengecualian menyatakan bahwa laporan keuangan menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha, perubahan ekuitas, dan arus kas sesuai dengan SAK/ETAP/IFRS, kecuali untuk dampak hal yang berkaitan dengan yang dikecualikan. Pendapat ini dinyatakan bilamana:
  1. Ketiadaan bukti kompeten yang cukup atau adanya pembatasan terhadap lingkup audit yang menyebabkan auditor berkesimpulan bahwa ia tidak dapat menyatakan pendapat wajar tanpa pengecualian dan ia berkesimpulan tidak menyatakan tidak memberikan pendapat.
  2. Auditor yakin atas dasar auditnya bahwa laporan keuangan berisi penyimpangan dari SAK/ETAP/IFRS, yang berdampak material, dan ia berkesimpulan untuk tidak menyatakan pendapat tidak wajar.


Pendapat Tidak Wajar

Suatu pendapat tidak wajar menyatakan bahwa laporan keuangan tidak menyajikan secara wajar posisi keuangan, hasil usaha, perubahan ekuitas, dan arus kas sesuai dengan SAK/ETAP/IFRS. Pendapat ini dinyatakan bila menurut pertimbangan auditor, laporan keuangan secara keseluruhan tidak disajikan secara wajar sesuai dengan SAK/ETAP/IFRS. Apabila auditor menyatakan pendapat tidak wajar, ia harus menjelaskan dalam paragraf terpisah sebelum paragraf pendapat dalam laporannya
  • Semua alasan yang mendukung pendapat tidak wajar, dan
  • Dampak utama hal yang menyebabkan pemberian pendapat tidak wajar terhadap posisi keuangan, hasil usaha, perubahan ekuitas, dan arus kas, jika secara praktis untuk dilaksanakan. Jika dampak tersebut tidak dapat ditentukan secara beralasan, laporan audit harus menyatakan hal itu.

Pernyataan Tidak Memberikan Pendapat

Suatu pernyataan tidak memberikan pendapat menyatakan bahwa auditor tidak menyatakan pendapat atas laporan keuangan. Auditor dapat tidak menyatakan suatu pendapat bilamana ia tidak dapat merumuskan atau tidak merumuskan suatu pendapat tentang kewajaran laporan keuangan sesuai dengan SAK/ETAP/IFRS. Jika auditor menyatakan tidak memberikan pendapat, laporan auditor harus memberikan semua alasan substantif yang mendukung pernyataannya tsb.

Pernyataan tidak memberikan pendapat adalah cocok jika auditor tidak melaksanakan audit yang lingkupnya memadai untuk memungkinkannya memberikan pendapat atas laporan keuangan. Pernyataan tidak memberikan pendapat harus tidak diberikan karena auditor yakin atas dasar auditnya, bahwa terdapat penyimpangan material dari SAK/ETAP/IFRS. Jika pernyataan tidak memberikan pendapat disebabkan pembatasan ruang lingkup audit, auditor harus menunjukkan dalam paragraf terpisah semua alasan substantif yang mendukung pernyataannya tsb. Ia harus menyatakan bahwa lingkup auditnya tidak memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan. Auditor tidak harus menunjukkan prosedur yang dilaksanakan dan tidak harus menjelaskan karakteristik auditnya dalam suatu paragraf (yaitu, paragraf  lingkup audit dalam laporan auditor baku). Jika auditor menjelaskan bahwa auditnya dilaksanakan berdasarkan standar auditing yang ditetapka Ikatan Akuntan Indonesia, tindakan ini dapat mengakibatkan kaburnya pernyataan tidak memberikan pendapat. Sebagai tambahan, ia harus menjelaskan keberatan lain yang berkaitan dengan kewajaran penyajian laporan keuangan berdasarkan SAK/ETAP/IFRS.










DAFTAR PUSTAKA

 

Agoes, Sukirno.2004. Auditing (Pemeriksaan Akuntan oleh Kantor Akuntan Publik).Edisi Ketiga,   Jilid 1. Jakarta. Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.





Minggu, 08 Maret 2015

KONTROVERSI KONSERVATISME AKUNTANSI

Kontroversi dalam Konservatisme Akuntansi




Banyak kritik mengenai kegunaan prinsip konservatisme berkaitan dengan kualitas laporan keuangan, karena penggunaan metode yang konservatif akan menghasilkan angka-angka yang cenderung bias dan tidak mencerminkan realita. Monahan (1999) menyatakan bahwa semakin konservatif metode akuntansi yang digunakan, maka nilai buku ekuitas yang dilaporkan semakin bias (bervariasi antar waktu). Kondisi ini mendukung simpulan bahwa laporan keuangan itu sama sekali tidak berguna karena tidak dapat mencerminkan nilai perusahaan sesungguhnya. Penman dan Zhang (2002) menambahkan kritikan terhadap pendapat yang menyatakan bahwa praktek konservatisme dalam akuntansi menghasilkan laba yang berkualitas tinggi. Mereka berpendapat bahwa hubungan antara konservatisme dan kualitas laba dipengaruhi oleh pertumbuhan investasi. Jika perubahan investasi bersifat temporer, maka dampaknya terhadap laba dan tingkat kembalian (rate of return) juga temporer, dan mengakibatkan laba berkualitas rendah - tidak sustainable. Pemikiran serta bukti empiris menunjukkan masih terdapat kontroversi mengenai manfaat angka-angka akuntansi yang konservatif. 

Argumen yang dipakai untuk mendukung konservatisme sebagaimana diungkapkan oleh Hendriksen dan Breda (1992) yaitu 
  1. Sikap pesimistik dianggap perlu untuk menetralkan sikap optimistik berlebihan yang ada pada manajer dan pemilik. Para pengusaha mempunyai kecenderungan bersikap optimistik tentang perusahaan dan hal ini menimbulkan anggapan bahwa mereka juga akan menerapkan sikap tsb dalam memilih prinsip dan metode akuntansi untuk melaporkan keuangan. Dengan desakan dari pihak kreditor, sejak abad ke-19 para akuntan selalu menunjukkan sikap konservatif. Sikap ini terus dianut dan memberikan warna dalam praktek akuntansi masa kini.
  2. Overstatement laba dan aset lebih berbahaya daripada understatement laba dan aset. Di sini ada anggapan bahwa konsekuensi karena kesalahan memperkirakan keuntungan berakibat lebih serius daripada konsekuensi karena kesalahan memperkirakan kerugian atau kebangkrutan. Oleh karenanya para akuntan memerlukan verifikasi yang lebih tinggi untuk mengakui pendapatan yang mungkin timbul dibanding mengakui biaya yang mungkin timbul. 
Pendapat lain dikemukakan oleh Kam (1995) dan Qiang (2003) yang menyatakan bahwa terdapat beberapa aspek yang menyebabkan konservatisme akuntansi ditolak antara lain:

  1. Ketidakkonsistenan. Ketika aset dilaporkan terlalu rendah karena digunakan atau dijual, hal ini akan mengakibatkan laba dilaporkan terlalu tinggi. Dalam kasus lain, laba yang dilaporkan terlalu rendah pada periode sekarang akan dilaporkan terlalu tinggi pada periode berikutnya.
  2. Ketidakteraturan. Tingkat konservatisme dalam laporan keuangan berkaitan dengan perihal kebijakan perusahaan. Misalnya, ketika mengantisipasi kerugian, mungkin dicatat dan mungkin tidak karena suatu ekspektasi selalu dapat direvisi.
  3. Penyembunyian. Investor mengalami kesulitan menentukan dan menemukan jumlah aset yang dilaporkan terlalu rendah, sehingga dalam kasus ini investor dalam posisi tidak diuntungkan dan memberi peluang keuntungan bagi pihak dalam.
  4. Kontradiktif. Konservatisme akuntansi bertentangan dengan karakteristik kualitatif laporan keuangan antara lain, relevan, reliabilitas, dan komparabilitas.  


Akuntansi Konservatif Bermanfaat


Walaupun terdapat kritikan tentang kegunaan konservatisme akuntansi, namun prinsip ini masih dianggap baik dan dilaksanakan dalam praktek, karena berdasarkan pengalaman bertahun-tahun telah menunjukkan bahwa akuntan melakukan kehati-hatian dalam menghadapi ketidakpastian lingkungan. Alasan mendasar adalah karena terdapat kecenderungan secara alami bahwa manajer dan pemilik, cenderung overoptimistic dalam melaporkan perkembangan perusahaannya (Juanda, 2007). Givoly dan Hayn (2000) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan konservatisme di Amerika Serikat. Akuntansi konservatif akan menguntungkan dalam kontrak-kontrak antara pihak dalam perusahaan maupun dengan luar perusahaan. Konservatisme dapat membatasi tindakan manajer untuk membesar-besarkan laba serta memanfaatkan informasi yang asimetri ketika menghadapi klaim atas aktiva perusahaan.

Para peneliti yang menyatakan konservatisme dalam akuntansi bermanfaat yaitu apabila laba konservatif yang disusun menggunakan prinsip akuntansi yang konservatif mencerminkan laba minimal yang dapat diperoleh perusahaan sehingga laba yang disusun dengan metode yang konservatif bukanlaba yang dibesar-besarkan nilainya, sehingga dapat dianggap sebagai laba yang berkualitas (Almilia, 2004). Ahmed, et al (2000) membuktikan bahwa konservatisme dapat berperan mengurangi konflik yang terjadi antara manajemen dan pemegang saham akibat kebijakan deviden yang diterapkan perusahaan. Untuk menghindari konflik, manajemen cenderung menggunakan akuntansi yang lebih konservatif.

Pendukung konservatisme akuntansi menyajikan laba dan aktiva dengan prinsip penundaan pengakuan keuntungan dan secepatnya mengakui adanya kerugian. Prinsip ini memang akan menyebabkan laba dan aktiva periode berjalan menjadi lebih rendah. Bila terjadi kenaikan laba dan aktiva di masa datang akibat prinsip ini, hal tsb disebabkan oleh keuntungan yang semula ditunda pengakuannya telah diakui oleh perusahaan karena dipastikan akan terealisasi. Jadi bukan berarti peningkatan laba dan aktiva masa datang merupakan cermin dari tidak konservatifnya perusahaan (Watts, 2003).

Watts (2003) menjelaskan bahwa Konservatisme akuntansi juga bermanfaat untuk menghindari perilaku oprtunistik manajer berkaitan dengan kontrak-kontrak yang menggunakan laporan keuangan sebagai media kontrak yang efisien dengan berbagai pihak yang berkepentingan dengan perusahaan. Oleh karena itu, konservatisme akuntansi dapat digunakan untuk menghindari moral hazard yang disebabkan oleh pihak-pihak yang mempunyai informasi yang asimetri. Pada dasarnya manajer ingin kinerjanya dinilai baik oleh pemegang saham, sehingga mereka melaporkan laba yang besar agar pemegang saham tertarik melakukan investasi pada perusahaan tsb, misalnya dengan melakukan praktek manajemen laba. Konservatisme akuntansi di sini dapat bermanfaat karena menjadi satu mekanisme yang mencegah manajer melakukan hal tsb. 



Akuntansi Konservatif  Tidak Bermanfaat

Mayangsari dan Wilopo (2002) berpendapat bahwa suatu laporan keuangan jika penyusunannya menggunakan metode yang konservatif akan mengakibatkan laporan keuangan yang dihasilkan cenderung bias dan tidak mencerminkan realita. Klein dan Marquadt (2000) dalam Juanda (2007) menambahkan pernyataan yang mengkritik adanya prinsip konservatisme dalam pelaporan keuangan, yaitu bahwa terdapat dua aspek yang menjadikan konservatisme akuntansi mengurangi kualitas laporan keuangan terutama masalah relevansi. 


  • Pertama, konservatisme melaporkan terlalu rendah baik laba maupun aset. Hal ini akan mempengaruhi kualitas relevansi laporan keuangan khususnya netralitas. karena ingin mempertahankan reliabilitas, kadang perusahaan mengabaikan relevansi informasi atau sebaliknya. Misalnya ketika mencatat kerugian kontijensi atau mencatat biaya riset dan pengembangan. Konservatisme mendorong adanya penyimpangan karena sikap pesimistik, walaupun hal ini memang diharapkan oleh kreditur, namun akan menjadi masalah ketika melakukan analisis ekuitas.
  • Kedua, konservatisme merupakan hasil dari penundaan pengakuan secara selektif terhadap berita baik, sementara dengan segera mengakui berita buruk. Hal ini dapat mengakibatkan understatement terhadap laba yang dilaporkan untuk periode saat ini, tetapi overstatement terhadap laba yang dilaporkan untuk periode yang akan datang.  

Pernyataan yang diungkapkan Klein dan Marquadt (2000) tsb senada dengan Watts (2003) yakni tentang adanya overstatement terhadap laba dalam periode berikutnya yang disebabkan understatement terhadap biaya pada periode tsb. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penerapan konsep ini akan menghasilkan laba yang berfluktuatif, yang berarti bahwa laba tsb akan mengurangi daya prediksi laba untuk memprediksi aliran kas perusahaan pada masa yang akan datang (Sari dan Adhariani, 2009).









DAFTAR PUSTAKA




Ahmed and Duellman. 2007. Accounting Conservatism and Board of Director Characteristic: An Empirical Analysis. Journal of Accounting and Economics.

Almilia, Luciana SPica. 2004. Pengujian Size Hypothesis dan Debt/Equity Hypothesis yang Mempengaruhi Tingkat Konservatisme Laporan keuangan Perusahaan. Jurnal Bisnis dan Akuntansi, Vol. 7.

Givoly, D., and Hayn. 2000. The Changing Time Properties of Earnings, Cash Flows and Accruals : Has Financial Reporting Become More Conservative?.Journal of Accounting and Economics 29, 287-320.

Juanda, Ahmad. 2007. Pengaruh Risiko Litigasi dan Tipe Strategi terhadap Hubungan antara Konflik Kepentingan dan Konservatisme Akuntansi. Naskah Publikasi penelitian Dasar keilmuan: FE-UMM.

Mayangsari, Sekar, dan Wilopo. 2002. Konservatisme Akuntansi, value Relevance dan Discretionary Accruals: Implikasi Empiris Model Feltham Ohlson (1996). Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol. 5 No. 3 September: 291-310.

Penman, S. and X. Zhang. 2002. Accounting Conservatism, The Quality of Earnings, and Stock Returns. The Accounting Review (April): 237-264.

Sari, Cyntia dan Desi Adhariani. 2009. Konservatisme Perusahaan di Indonesia dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. SNA XII : Ikatan Akuntansi Indonesia.






Sabtu, 07 Maret 2015

TEORI dlm KONSERVATISME AKUNTANSI

KONSERVATISME AKUNTANSI


Berikut ini beberapa teori yang berkaitan dengan prinsip konservatisme dalam akuntansi antara lain:


A. Teori Sinyal (signaling theory)

Teori ini menjelaskan mengapa perusahaan mempunyai dorongan untuk memberikan informasi laporan keuangan pada pihak eksternal. Dorongan perusahaan untuk memberikan informasi karena terdapat asimetri informasi antara perusahaan dan pihak luar karena perusahaan mengetahui lebih banyak mengenai perusahaan dan prospek yang akan datang daripada pihak luar. Kurangnya informasi bagi pihak luar mengenai perusahaan menyebabkan mereka melindungi diri dengan memberikan harga yang rendah untuk perusahaan. Perusahaan dapat meningkatkan nilai perusahaan dengan mengurangi asimetri informasi. Salah satu cara untuk mengurangi asimetri informasi adalah dengan memberikan sinyal pada pihak luar, salah satunya berupa informasi keuangan yang dapat dipercaya dan akan mengurangi ketidakpastian mengenai prospek perusahaan yang akan datang (Wolk et al, 2000). 

Dalam teori sinyal dijelaskan bahwa pemberian sinyal dilakukan oleh manajer untuk mengurangi asimetri informasi. Manajer memberikan informasi melalui laporan keuangan bahwa mereka menerapkan kebijakan akuntansi konservatisme untuk menghasilkan laba lebih berkualitas karena prinsip ini mencegah perusahaan melakukan tindakan membesar-besarkan laba dan membantu pengguna laporan keuangan dengan menyajikan laba dan aktiva yang tidak overstate. Dalam prakteknya, manajemen menerapkan kebijakan akuntansi konservatif dengan menghitung depresiasi yang tinggi akan menghasilkan laba rendah yang relatif permanen yang berarti tidak mempunyai efek sementara pada penurunan laba yang akan berbalik pada masa yang akan datang (Fala, 2007).

Kusuma (2006) menyatakan bahwa tujuan teori signaling kemungkinan besar membawa dampak yang baik bagi para pemakai laporan keuangan. Manajer berusaha menginformasikan kesempatan yang dapat diraih oleh perusahaan di masa yang akan datang. Sebagai contoh, karena manajer sangat erat kaitannya dengan keputusan yang berhubungan dengan aktivitas investasi maupun operasi perusahaan, otomatis para manajer memiliki informasi yang lebih baik mengenai prospek perusahaan di masa yang akan datang. Oleh karena itu manajer dapat mengestimasi secara baik laba masa datang dan diinformasikan kepada investor atau pemakai laporan keuangan lainnya.

Watts (2003) menyatakan bahwa understatement aktiva bersih yang sistematik atau relatif permanen merupakan salah satu ciri dari konservatisme akuntansi sehingga dapat dikatakan bahwa konservatisme akuntansi menghasilkan laba yang berkualitas karena prinsip ini mencegah perusahaan melakukan tindakan membesar-besarkan laba dan membantu pengguna laporan keuangan dengan menyajikan laba dan aktiva yang tidak overstate. Penman dan Zhang (2002) dan Fala (2007) menyatakan bahwa konservatisme akuntansi mencerminkan kebijakan akuntansi yang permanen. Secara empiris penelitian mereka menunjukkan bahwa earnings yang berkualitas diperoleh jika manajemen menerapkan akuntansi yang konservatif secara konsisten tanpa adanya perubahan metode akuntansi atau perubahan estimasi. Understatement laba dan aktiva bersih yang relatif permanen ditunjukkan melalui laporan keuangan yang merupakan suatu "sinyal positif" dari manajemen kepada investor bahwa manajemen telah menerapkan akuntansi konservatif untuk menghasilkan laba yang berkualitas. Investor diharapkan dapat menerima sinyal ini dan menilai perusahaan dengan lebih tinggi.


B. Teori Agensi (Agency Theory)

Teori ini menjelaskan adanya hubungan kontraktual antara dua pihak atau lebih yang salah satu pihak disebut prinsipal (principal) yang menyewa pihak lain yang disebut agen (agent) untuk melakukan beberapa jasa atas nama pemilik yang meliputi pendelegasian wewenang Jensen dan Meckling, 1976). Dalam hal ini pihak prinsipal mendelegasikan pertanggungjawaban atas decision making kepada agen. Prinsipal memberikan tanggung jawab kepada agen sesuai dengan kontrak kerja yang telah disepakati. Wewenang dan tanggung jawab agen maupun prinsipal diatur dalam kontrak kerja atas persetujuan bersama. prinsipal mempekerjakan agen untuk melakukan tugas demi kepentingan prinsipal, termasuk dalam pendelegasian otoritas pengambilan keputusan. Kontrak tsb seringkali dibuat berdasarkan angka laba bersih, sehingga dapat dikatakan bahwa teori agensi mempunyai implikasi terhadap akuntansi.

Menurut Watts dan Zimmerman (1986) hubungan prinsipal dan agen sering ditentukan dengan angka akuntansi. Hal ini memicu agen untuk memikirkan bagaimana akuntansi tsb dapat digunakan sebagai sarana untuk memaksimalkan kepentingannya. Salah satu bentuk tindakan yang dapat dilakukan agen adalah dengan melakukan manajemen laba. Teori agensi menyatakan bahwa praktek manajemen laba dipengaruhi oleh konflik kepentingan antara agen dan prinsipal yang timbul ketika setiap pihak berusaha mencapai tingkat kemakmuran yang dikehendakinya. Seringkali hubungan antara prinsipal dan agen tercermin dalam hubungan antara pemilik modal atau investor sebagai prinsipal dan manajer sebagai agen. Dalam hal ini agen memiliki lebih banyak informasi dibanding prinsipal, sehingga menimbulkan adanya asimetri informasi. Adanya informasi yang lebih banyak dimiliki oleh manajer dapat memicu untuk melakukan tindakan sesuai dengan keinginan dan kepentingan pribandinya. Bagi prinsipal dalam hal ini pemilik modal atau investor akan sangat sulit untuk mengontrol secara efektif tindakan yang dilakukan oleh manajer karena hanya memiliki sedikit informasi. Menurut Scott (2009) terdapat dua macam asimetri informasi yaitu:
  1. Adverse selection, yaitu bahwa para manajer serta orang-orang dalam lainnya memiliki labih banyak pengetahuan tentang keadaaan dan prospek perusahaan dibandingkan dengan pihak luar. Informasi mengenai fakta yang mungkin dapat mempengaruhi kepeutusan yang akan diambil oleh pemegang saham tidak disampaikan oleh manajer kepada pemegang saham.
  2. Moral hazard, yaitu bahwa kegiatan yang dilakukan oleh manajer tidak seluruhnya diketahui oleh pemeagang saham maupun kreditur. Sehingga manajer dapat melakukan tindakan yang melanggar kontrak dan secara etika atau norma tidak layak untuk dilakukan di luar sepengetahuan pemegang saham.

C. Teori Akuntansi Positif

Teori Akuntansi positif didasarkan pada proposisi bahwa manajer, pemegang saham, dan regulator (politisi) adalah rasional dan mereka berusaha untuk memaksimalkan utility mereka, yang secara langsung terkait dengan kompensasi dan kemakmuran mereka. Pilihan akuntansi tergantung pada variabel-variabel yang merepresentasi insentif manajemen untuk memilih metode akuntansi dengan rencana bonus, kontrak hutang, dan proses politisi. Watts dan Zimmerman (1986) menjelaskan tiga hipotesis yang diaplikasikan untuk melakukan prediksi dalam teori akuntansi positif mengenai motivasi manajemen melakukan pengelolaan laba. Tiga hipotesis yang dijelaskannya adalah sebagai berikut:
  1. Hipotesis rencana bonus (bonus plan hypothesis), berkaitan dengan tindakan manajemen dalam memilih metode akuntansi untuk memaksimalkan laba demi mendapatkan bonus yang tinggi. Manajemen yang diberikan janji untuk mendapatkan bonus sehubungan dengan performa perusahaan khususnya terkait dengan laba perusahaan yang diperolehnya akan termotivasi untuk mengakui laba perusahaan yang seharusnya menjadi bagian di masa mendatang, diakui menjadi laba perusahaan pada tahun berjalan.
  2. Hipotesis perjanjian hutang (debt covenant hypothesis), dalam melakukan perjanjian hutang, perusahaan diharuskan untuk memenuhi beberapa persyaratan yang diajukan oleh debitur agar dapat mengajukan pinjaman. Beberapa persyaratan tsb adalah persyaratan atas kondisi tertentu mengenai keuangan perusahaan. Kondisi keuangan perusahaan dapat tercermin dari rasio-rasio keuangannya. Kreditor memiliki persepsi bahwa perusahaan yang memiliki nilai laba yang relatif tinggi dan stabil merupakan salah satu kriteria perusahaan yang sehat.
  3. Hipotesis biaya politik (political cost hypothesis), hipotesis ini menjelaskan akibat politis dari pemilihan kebijakan akuntansi yang dilakukan oleh manajemen. Semakin besar laba yang diperoleh perusahaan, maka semakin besar tuntutan masyarakat terhadap perusahaan tsb. Perusahaan yang berukuran besar diharapkan akan memberikan perhatian yang lebih terhadap lingkungan sekitarnya dan terhadap pemenuhan atas peraturan yang diberlakukan regulator.

Menurut Chariri dan Ghozali (2007) dalam teori akuntansi positif terdapat tiga hubungan keagenan yaitu:
  • Hubungan manajemen dengan pemilik (pemegang saham), manajemen akan cenderung menerapkan akuntansi yang kurang konservatif atau optimis apabila kepemilikan saham yang ada di perusahaan lebih rendah dibandingkan dengan kepemilikan saham eksternal. Agen atau manajer tsb ingin agar kinerjanya dinilai bagus dan mendapatkan bonus (bonus plan), maka manajer cenderung meningkatkan laba periode berjalan. Namun, prinsipal atau pemegang saham hanya menginginkan deviden maupun capital gain dari saham yang dimilikinya. Sebaliknya, jika kepemilikan manajerial  lebih tinggi dibanding pemegang saham eksternal, maka manajemen cenderung melaporkan laba yang lebih konservatif. Adanya rasa memiliki dari manajer terhadap perusahaan yang tinggi membuat manajer lebih berkeinginan untuk memperbesar perusahaan. Penerapan akuntansi yang konservatif menyebabkan terdapat cadangan dana tersembunyi yang cukup besar untuk dapat meningkatkan investasi perusahaan. Aset akan diakui dengan nilai terendah, sehingga nilai pasar lebih besar daripada nilai buku dan terbentuklah goodwill.
  • Hubungan manajemen dengan kreditor, apabila rasio hutang atau ekuitas perusahaan tinggi maka kemungkinan bagi manajer untuk memilih metode akuntansi yang konservatif atau yang cenderung menurunkan laba semakin besar. Hal ini dikarenakan kreditor dapat mengawasi kegiatan operasional manajemen, sehingga pihaknya meminta manajemen agar melaporkan laba yang konservatif demi keamanan dananya.
  • Hubungan manajemen dengan pemerintah, manajer akan cenderung melaporkan laba secara konservatif atau secara hati-hati untuk menghindari pengawasan yang lebih ketat dari pemerintah, para analis, dan masyarakat. Perusahaan yang besar akan lebih disoroti oleh pihak-pihak tsb dibanding perusahaan kecil. Perusahaan besar harus dapat menyediakan layanan publik dan tanggung jawab sosial yang lebih baik kepada masyarakat sebagai tuntutan dari pemerintah dan juga membayar pajak yang lebih ringgi sesuai dengan laba perusahaan yang tinggi.




DAFTAR PUSTAKA



Fala, Dwiyana Amalia S. 2007. Pengaruh Konservatisme Akuntansi terhadap Penilaian Ekuitas Perusahaan Dimoderasi oleh Good Corporate Governance. SNA X : Ikatan Akuntansi Indonesia.

Jensen, M. and Meckling. 1976. Theory of The Firm: Managerial Behavior, Agency Cost and Ownership Structure. Journal of Financial Economics 3: 305-360.

Watts, R. dan Zimmerman. 1986. Positive Accounting Theory. Prentice -hall, Englewood CLiffs, NJ.









Jumat, 06 Maret 2015

Mengenal KONSERVATISME AKUNTANSI

KONSERVATISME AKUNTANSI



Pendahuluan


Dalam pelaporan keuangan yang menjadi salah satu fokus utama adalah informasi laba yang menyaediakan informasi mengenai kinerja keuangan suatu perusahaan selama periode tertentu. Investor dan kreditor sebagai pengguna laporan keuangan dapat menggunakan informasi laba dan komponennya untuk membantu mereka dalam:
  1. Mengevaluasi kinerja perusahaan.
  2. Mengestimasi daya melaba dalam jangka panjang.
  3. Memprediksi laba di masa yang akan datang.
  4. Menaksir risiko investasi atau pinjaman kepeda perusahaan.
Untuk mewujudkan manfaat tsb, maka diperlukan prinsip-prinsip akuntansi yang akan menghasilkan angka-angka yang relevan dan reliable (Juanda, 2007). Salah satu prinsip yang dianut dalam proses pelaporan keuangan adalah prinsip konservatisme. Konservatisme merupakan reaksi yang berhati-hati atas ketidakpastian yang ada agar ketidakpastian dan risiko yang berkaitan dalam situasi bisnis dapat dipertimbangkan dengan cukup memadai. Ketidakpastian dan risiko tsb harus dicerminkan dalam laporan keuangan agar nilai prediksi dan kenetralannya dapat diperbaiki. Pelaporan yang didasari kehati-hatian akan memberi manfaat yang terbaik untuk semua pemakai laporan keuangan (Almilia, 2004). 


Definisi Konservatisme Akuntansi



Watts (2003) mendefinisikan konservatisme sebagai prinsip kehati-hatian dalam pelaporan keuangan dimana perusahaan tidak terburu-buru dalam mengakui dan mengukur aktiva dan laba serta segera mengakui kerugian dan hutang yang mempunyai kemungkinan yang terjadi. Penerapan prinsip ini mengakibatkan pilihan metode akuntansi ditujukan pada metode yang melaporkan laba atau aktiva yang lebih rendah serta melaporkan hutang lebih tinggi. Dengan demikian, pemberi pinjaman akan menenrima perlindungan atas risiko menurun (downside risk) dari neraca yang menyajikan aset bersih dan laporan keuangan yang melaporkan berita buruk secara tepat waktu (Haniati dan Fitriany, 2010). GIvoly dan Hayn (2000) mendefinisikan konservatisme sebagai pengakuan awal untuk biaya dan rugi serta menunda pengakuan untuk pendapatan dan keuntungan.

Definisi resmi dari konservatisme terdapat dalam Glosarium Pernyataan Konsep No.2 FASB (Financial Accounting Statement Board) yang mengartikan konservatisme sebagai reaksi yang hati-hati (prudent reaction) dalam menghadapi ketidakpastian yang melekat pada perusahaan untuk mencoba memastikan bahwa ketidakpastian dan risiko dalam lingkungan bisnis yang sudah cukup dipertimbangkan. Juanda (2007) menyatakan bahwa konservatisme merupakan prinsip akuntansi yang jika diterapkan akan menghasilkan angka-angka laba dan aset cenderung rendah, serta angka-angka biya dan hutang cenderung tinggi. Kecenderungan seperti itu terjadi karena konservatisme menganut prinsip memperlambat pengakuan pendapatan serta mempercepat pengakuan biaya. Akibatnya, laba yang dilaporkan cenderung terlalu rendah (understatement).

Berdasarkan definisi tsb maka praktek konservatisme akuntansi sering memperlambat atau menunda pengakuan pendapatan yang mungkin terjadi, tetapi mempercepat pengakuan biaya yang mungkin terjadi. Sementara itu dalam penilaian aset dan hutang, aset dinilai pada nilai paling rendah dan sebaliknya, hutang dinilai pada nilai yang paling tinggi.


Konservatisme Akuntansi dalam PSAK



PSAK sebagai standar pencatatan akuntansi di Indonesia menjadi pemicu timbulnya penerapan prinsip konservatisme. Pengakuan prinsip konservatisme di dalam PSAK tercermin dengan terdapatnya berbagai pilihan metode pencatatan di dalam sebuah kondisi yang sama. Hal tsb akan mengakibatkan angka-angka yang berbeda dalam laporan keuangan yang pada akhirnya akan menyebabkan laba yang cenderung konservatif. Beberapa pilihan metode pencatatan di dalam PSAK yang dapat menimbulkan laporan keuangan konservatif diantaranya adalah:
  1. PSAK No. 14 tentang persediaan yang menyatakan bahwa perusahaan dapat mencatat biaya persediaan dengan menggunakan salah satu metode yaitu FIFO (first in first out) atau masuk pertama keluar pertama dan metode rata-rata tertimbang.
  2. PSAK No. 16 tentang aktiva tetap dan aktiva lain-lain yang mengatur estimasi masa manfaat suatu aktiva tetap. Estimasi masa manfaat suatu aktiva didasarkan pada pertimbangan manajemen yang berasal dari pengalaman perusahaan saat menggunakan aktiva yang serupa. Estimasi masa manfaat tsbharuslah diteliti kembali secara periodik dan jika manajemen menemukan bahwa masa manfaat suatu aktiva berbeda dari estimasi sebelumnya maka harus dilakukan penyesuaian atas beban penyusutan  saat ini dan di masa yang akan datang. Standar ini memungkinkan perusahaan untuk mengubah masa manfaat aktiva yang digunakan dan dapat mendorong timbulnya laba yang konservatif.
  3. PSAK No. 19 tentang aset tidak berwujud yang berkaitan dengan metode amortisasi. Dijelaskan bahwa terdapat beberapa metode amortisasi untuk mengalokasikan jumlah penyusutan suatu aset atas dasar yang sistematis sepanjang masa manfaatnya.
  4. PSAK No. 20 tentang biaya riset dan pengembangan yang menyebutkan bahwa alokasi biaya riset dan pengembangan ditentukan dengan melihat hubungan antara biaya dan manfaat ekonomis yang diharapkan perusahaanakan diperoleh dari kegiatan riset dan pengembangan. Apabila besar kemungkinan biaya tsb akan meningkatkan manfaat ekonomis di masa yang akan datang dan biaya tsb dapat diukur secara handal, maka biaya-biaya tsb memenuhi syarat untuk diakui sebagai aktiva.

Dengan adanya pilihan metode tsb akan berpengaruh terhadap angka-angka yang disajikan dalam laporan keuangan. Sehingga dapat dikatakan bahwa secara tidak langsung konsep konservatisme ini akan mempengaruhi hasil dari laporan keuangan tsb. Penerapan konsep ini juga akan menghasilkan laba yang berfluktuatif akan mengurangi daya prediksi laba untuk memprediksi aliran kas perusahaan pada masa yang akan datang (Sari dan Adhariani, 2009).




Konservatisme Akuntansi dalam IFRS



Konservatisme akuntansi tidak menjadi prinsip yang diatur dalam standar akuntansi Internasional (IFRS). Hellman (2007) menyatakan bahwa jika dibandingkan dengan akuntansi konvensional, IFRS (International Financial Reporting Standards) berfokus pada pencatatan yang relevanang semkin sehingga menyebabkan ketergantungan yang semakin tinggi terhadap estimasi dan berbagai judgement. Dalam hal ini, kebijakan yang ditetapkan IASB (International Accounting Standard Board) tsb menyebabkan semakin berkurangnya penekanan atas penerapan akuntansi konservatif secara konsisten dalam pelaporan keuangan berdasarkan IFRS. 

Khairina (2009) menyebutkan ada beberapa poin dalam IFRS mengenai semakin berkurangnya penekanan atas penggunaan akuntansi konservatif dalam IAS (International Accounting Standard) antara lain:
  1. IAS 11 (Zero Profit Recognition for Fixed-Price Contracts), versi terbaru dari IAS mulai berlaku sejak tahun 1995. Standar ini mengatur mengenai penggunaan POC (Percentage of Completion) untuk pengakuan pendapatan dan biaya dalam kontrak konstruksi sebagai pengganti dari metode CC (Complete Contract). Hellman (2007) menyatakan bahwa metode CC dinilai lebih konservatif dibandingkan metode POC karena dalam metode CC dinilai lebih konservatif dibandingkan metode POC karena dalam POC karena dalam metode CC nilai keuntungan yang dapat diakui perusahaan akan mengalami understatement selama proses kontrak dan akan mengalami  overstatement setelah kontrak selesai. Hal ini disebabkan perusahaan hanya boleh mengakui pendapatan dari kontrak konstruksi tsb setelah proses konstruksi selesai. Sementara dalam metode POC perusahaan dapat mengakui pendapatan berdasarkan estimasi persentase penyelesaian kontrak pada tanggal neraca.
  2. IAS 12 (Deferred Tax Asset), mengatur mengenai pengakuan deferred tax asset pad neraca jika meungkin (probable) terdapat future taxable profit. Sebelum dikeluarkannya IAS 12 tsb, deferred tax asset tidak diakui di dalam neraca karena terdapat ketidakjelasan atas perolehan taxable profit di masa yang akan datang. Pemebrlakuan efektif IAS 12 tsb mempersentasikan perlakuan akuntansi yang kurang konservatif (Hellman, 2007).
  3. IAS 16 (Property, Plant, and Equipment), mengatur bahwa dalam pengukuran nilai aktiva tetap, perusahaan dapat memilih penggunaan metode biaya atau revaluasi. Metode biaya menggunakan metode yang telah lama digunakan dalam akuntansi konvensional, sementara metode revaluasi yang mensyaratkan perusahaan untuk memperbarui aktiva secara periodik atas nilai pasarnya dinyatakan sebagai metode kurang konservatif. Dalam metode akuntansi ini, perusahaan dapat emngakui peningkatan nilai aktiva sebagai penambahan atas modal atau peningkatan nilai pendapatan jika penurunan nilai pada periode sebelumya telah diakui sebagai biaya

  1. IAS 38 (Capitalism of Development Cost), pertama kali dikeluarkan pada tahun 1998, kemudian diikuti dengan revisinya yang berlaku sejak tanggal 31 maret 2004. Berdasarkan IAS 38, aktiva tidak berwujud yang berasal dari aktivitas pengembangan diakui sebagai aktiva jika telah memenuhi beberapa syarat tertentu. Sebelum diberlakukannya standar ini, pembebanan langsung menjadi acuan utama dalam perlakuan akuntansi yang kurang konservatif.



Perbandingan IFRS dan PSAK


Cakupan Pengaturan
Desain IFRS diperuntukkan untuk entitas yang bersifat profit oriented SME (small medium enterprise). IFRS belum mengatur standar akuntansi untuk perusahaan berbasis syariah. Sedangkan SAK diperuntukkan bagi entitas yang bersifat profit oriented, nirlaba, UKM (Usaha Kecil Menengah) yang disebut SAK ETAP, dan perusahaan berbasis syariah. Berikut ini merupakan perbandingan antara IFRS dan PSAK:

a. Kerangka Dasar
  • IFRS: memungkinkan penilaian aktiva berwujud dan tidak berwujud menggunakan nilai wajar. laporan keuangan harus disajikan dengan basis true and fair (IFRS framework).
  • SAK: sama seperti IFRS, PSAK memberikan alternatif penggunaan nilai wajar untuk menilai kembali aktiva tetap berwujud dan tidak berwujud. Laporan keuangan disajikan dengan fairly stated (kerangka dasar par.46)
b. Pernyataan Kepatuhan akan Standar
  • IFRS: entitas harus membuat pernyataan eksplisit tentang kepatuhan akan standar IFRS.
  • SAK: entitas tidak harus membuat pernyataan kepatuhan akan SAK.
c. Prinsip Ketetpatan Waktu (timeliness)
  • IFRS: Tidak diatur secara khusus kapan entitas menyajikan laporan keuangan.
  • SAK: Dianjurkan agar entitas menyajikan laporan keuangan paling lama 4 bulan setelah tanggal neraca.
d. Basis Standar
  • IFRS: menganut standar akuntansi berbasis prinsip untuk meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan keterbandingan laporan keuangan antar entitas secara global.
  • SAK: menganut standar akuntansi berbasis aturan.
e. Prinsip Konservatif
  • IFRS: tidak lagi mengakui prinsip konservatif namun diganti dengan prinsip kehati-hatian (prudence).
  • SAK: masih mengakui prinsip konservatif.





DAFTAR PUSTAKA




Almilia, Luciana Spica. 2004. Pengujian Size Hypothesis dan Debt/Equity Hypothesis yang Mempengaruhi Tingkat Konservatisme Laporan Keuangan        Perusahaan. Jurnal Bisnis dan Akuntansi, Vol.27.

Givoly, D. and Hayn. 2000. The Changing Time Properties of Earning, Cash Flows and Accruals: Has Financial Reporting Become More Conservative?. Journal Of  Accounting & Economics 29, 287-320.

Haniati, dan Fitriany. 2010. Pengaruh Konservatisme terhadap Asimetri Informasi dengan Menggunakan Beberapa Model Pengukuran Konservatisme. SNA XII Purwokerto.

Hellman, Niclas. 2007. Accounting Conservatism Under IFRS. Diakses 13 Juni 2014 dari www.google.com.

Juanda, Ahmad. 2007. Pengaruh Risiko Litigasi dan Tipe Strategi terhadap Hubungan antara Konflik Kepentingan dan Konservatisme Akuntansi. Naskah Publikasi penelitian Keilmuan FE-UMM.

Khairina, Najwa. 2009. Analisis Eksistensi Konservatisme Akuntansi serta Faktor-faktor yang Mempegaruhinya pada Industri Manufaktur Indonesia. Depok: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Sari, Cynthia dan Desi Adhariani. 2009. Konservatisme Perusahaan di Indonesia dan faktor-faktor yang Mempengaruhinya. SNA XII : Ikatan Akuntansi Indonesia.








Adsense Indonesia

Rabu, 04 Maret 2015

Fungsi, Peran,Sumber Dana, Sumber Pendapatan, dan Instrumen Keuangan BANK SYARIAH

BANK SYARIAH part 2


Fungsi dan Peran Bank Syariah

Fungsi dan peran bank syariah yang diantaranya tercantum dalam pembukaan standar akuntansi yang dikeluarkan oleh AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institution) adalah sebagai berikut:
  1. Manajer investasi, bank syariah dapat mengelola investasi dana nasabah
  2. Investor, bank syariah dapat menginvestasikan dana yang dimilikinya maupun dana nasabah yang dipercayakan kepadanya.
  3. Penyedia jasa keuangan dan lalu lintas pembayaran, bank syariah dapat melakukan kegiatan-kegiatan jasa-jasa layanan perbankan sebagaimana lazimnya.
  4. Pelaksanaan kegiatan sosial, sebagai ciri yang melekat pada entitas keuangan syariah, bank dalam Islam juga memiliki kewajiban untuk mengeluarkan dan mengelola (menghimpun, mengadministrasikan, dan mendistribusikan) zakat serta dana-dana sosial lainnya.


Sumber Dana Bank Syariah

Arifin (2009) menjelaskan bahwa sumber dana bank syariah terdiri dari:

a. Modal inti (core capital), adalah dana modal sendiri yaitu dana yang berasal dari para pemegang saham, yakni pemilik bank. Pada umumnya modal inti terdiri dari:
  1. Modal yang disetor oleh pemegang saham.
  2. Cadangan, yaitu sebagian laba bank yang tidak dibagi, yang disisihkan untuk menutup timbulnya risiko kerugian di kemudian hari.
  3. Laba ditahan, yaitu sebagian laba yang seharusnya dibagikan kepada para pemegang saham, tetapi oleh para pemegang saham sendiri diputuskan untuk ditanam kembali dalam bank.
b. Kuasi ekuitas (mudharabah account). Bank menghimpun dana berbagi hasil atas dasar prinsip mudharabah, yaitu akad kerja sama antara pemilik dana (shahibul maal) dengan pengusaha (mudharib) untuk melakukan suatu usaha bersama, dan pemilik dana tidak boleh mencampuri pengelolaan bisnis sehari-hari. Berdasarkan prinsip ini, bank menyediakan jasa bagi investor berupa:
  1. Rekening investasi umum, dimana bank menerima simpanan dari nasabah yang mencari kesempatan investasi atas dana mereka dalam bentuk investasi berdasarkan prinsip mudharabah mutlaqah (unrestricted investment account). Dalam hal ini bank bertindak sebagai mudharib dan nasabah bank bertindak sebagai shahibul maal, sedangkan keduanya menyepakati pembagian laba (bila ada) yang dihasilkan dari penanaman dana tsb dengan nisbah tertentu. Dalam hal terjadi kerugian, nasabah menanggung kerugian tsb dan bank kehilangan keuntungan.
  2. Rekening investasi khusus, yaitu bank bertindak sebagai manajer investasi bagi nasabah institusi (pemerintah atau lembaga keuangan lain) atau nasabah korporasi untuk menginvestasikan dana mereka pada unit-unit usaha atau proyek-proyek tertentu yang mereka setujui atau mereka kehendaki.
  3. Rekening tabungan mudharabah. Dalam aplikasinya bank syariah melayani tabungan mudharabah dalam bentuk targeted saving, seperti tabungan kurban, tabungan haji atau tabungan lain yang dimaksudkan untuk suatu pencapaian target kebutuhan dalam jangka dan atau jangka waktu tertentu.
c. Dana titipan (wadi'ah/non-remunerated deposit) adalah dana pihak ketiga yang dititipkan pada bank, yang umumnya berupa giro atau tabungan. Menurut Arifin (2009), dana titipan ini dikembangkan dalam bentuk berikut:
  1. Rekening giro wadi'ah, dalam hal ini bank menggunakan prinsip wadi'ah yad dhamanah. Dengan prinsip ini bank sebagai custodian harus menjamin pembayaran kembali nominal simpanan wadi'ah. Dana tsb dapat digunakan oleh bank untuk kegiatan komersial dan bank berhak atas pendapatan yang diperoleh dari pemanfaatan harta titipan tsb dalam kegiatan komersial.
  2. Rekening tabungan wadi'ah. Dalam hal ini nasabah dapat menarik sebagian atau seluruh saldo simpanannya sewaktu-waktu atau sesuai dengan perjanjian yang disepakati. Bank menjamin pembayaran kembali simpanan mereka. Semua keuntungan atas pemanfaatan dana tsb adalah milik bank, tetapi atas kehendaknya sendiri, bank dapat memberikan imbalan keuntungan yang berasal dari sebagian keuntungan bank. Bank menyediakan buku tabungan dan jasa-jasa yang berkaitan dengan rekening tsb.

Sistem Operasional Bank Syariah

Secara umum sistem operasional bank syariah hampir tidak memiliki perbedaan dengan bank umum konvensional yakni menghimpun dana dari masyarakat yang kelebihan dana dan menyalurkan kepada masyarakat yang menyalurkan dana. Hanya saja yang membedakannya adalah pada landasan operasional dan beberaoa mekanisme produk yang harus berdasarkan syariat Islam.
Sigit dan Totok (2008) menjelaskan bahwa dalam sistem bank syariah dana nasabah dalam bentuk titipan maupun investasi. Cara titipan dan investasi berbeda dengan deposito pada bank konvensional dimana deposito merupakan upaya membungakan uang. Konsep dana titipan berarti kapan saja nasabah membutuhkan bank syariah harus dapat memenuhinya. Akibatnya dana titipan menjadi sangat likuid. Likuiditas yang tinggi inilah membuat dana titipan kurang memenuhi syarat suatu investasi yang membutuhkan pengendapan dana.

Rizal, yahya, Martawireja, Abdurahim (2009:57) dalam bukunya menyebutkan bahwa sistem operasional bank syariah antara lain:
  1. Sistem operasional bank syariah dimulai dari kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat. Penghimpunan dana dapat dilakukan dengan skema invstasi maupun skema titipan. Dalam penghimpunan dana dengan skema investasi dari nasabah pemilik dana (shahibul maal), bank syariah berperan sebagai pengelola dana atau biasa disebut dengan mudharib. Adapun pada penghimpunan dengan skema penitipan, bank syariah berperan sebagai penenrima titipan.
  2. Dana yang diterima oleh bank syariah selanjutnya disalurkan kepada berbagai pihak, antara lain mitra investasi, pengelola investasi, pembeli barang, dan penyewa barang atau jasa yang disediakan oleh bank syariah. Pada saat dana disalurkan dalam bentuk investasi, bank syariah berperan sebagai pemilik dana. Pada saat dana disalurkan dalam kegiatan jual beli, bank syariah berperan sebagai penjual dan pada saat disalurkan dalam kegiatan pengadaan obyek sewa, berperan sebagai pemberi sewa.
  3. Dari penyaluran dana kepada berbagai pihak, bank syariah selanjutnya menerima pendapatan berupa bagi hasil dari investasi, margin dari jual beli dan fee dari sewa dan berbagai jenis pendapatan yang diperoleh dari instrumen penyaluran dana lain yang dibolehkan.
  4. Pendapatan yang diterima dari kegiayan penyaluran selanjutnya dibagikan kepada nasabah pemilik dan atau penitip dana. Penyaluran dana kepada pemilik dana bersifat wajib sesuai dengan porsi bagi hasil yang disepakati. Adapun penyaluran dana kepada nasabah penitip dana bersifat sukarela tanpa ditetapkan di muka sebelumnya dan biasa disebut dengan istilah bonus.
  5. Selain melaksanakan aktivitas penghimpunan dan penyaluran, bank syariah dalam sistem operasionalnya juga memberikan layanan jasa keuangan seperti jasa ATM, transfer, letter of credit, bank garansi, dsb. Oleh karena jasa tsb dilakukan tanpa menggunakan dana dari pemilik dana meupun peniyip dana, maka pendapatan yang diperoleh dari jasa tsb dapat dimiliki sepenuhnya oleh bank syariah tanpa harus dibagi.
Selain itu, bank syariah juga diwajibkan menjadi pengelola zakat yaitu dalam arti wajib membayar zakat, menghimpun, mengadministrasikannya dan mendistribusikannya. ha; ini merupakan fungsi dan peran yang melekat pada bank syariah untuk memobolisasi dana-dana sosial (zakat, infaq, sodaqah). Operasional perbankan yang berdasarkan prinsip syariah ini diharapkan dapat memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam bermuamalah yang bebas dari praktek yang diharamkan Islam terutama praktek riba. Praktek dan sistem muamalah Islam diaplikasikan dalam setiap operasional dan produk-produk perbankan. produk-produk perbankan syariah dibuat sedemikian rupa sehingga bagi masyarakat non-muslim juga dapat menggunakan jasa perbankan syariah.


Penggunaan Dana Bank

Bank dalam menjalankan aktivitasnya berfungsi sebagai financial intermediary sehingga setelah berhasil menghimpun dana dari pihak ketiga, bank syariah berkewajiban untuk menyalurkan dana tsb untuk pembiayaan. Alokasi penggunaan dana bank syariah pasa dasarnya dapat dibagi dalam dua bagian penting (Muhammad, 2005), yaitu:
a. Aktiva yang menghasilkan (earning asset), adalah aset bank yang digunakan untuk menghasilkan pendapatan. Aset ini disalurkan salam bentuk investasi yang terdiri dari:
  1. Pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (Mudharabah).
  2. Pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan (Musyarakah).
  3. Pembiayaan berdasarkan prinsip jual beli (Al-Ba'i).
  4. Pembiayaan berdasarkan prinsip sewa (Ijarah dan Ijarah wa Iqtina)
  5. Surat-surat berharga syariah dan investasi lainnya
b. Aktiva yang tidak menghasilkan (non earning asset)
  1. Aktiva dalam bentuk uang tunai (cash asset), terdiri dari uang tunai, cadangan likuiditas (primary reserve) yang harus dipelihara pada bank sentral, giro pada bank dan item-item tunai lain yang masih dalam proses penagihan (collection).
  2. Pinjaman (qard), merupakan salah satu kegiatan bank syariah dalam mewujudkan tanggung jawab sosialnya sesuai dengan ajaran Islam.
  3. Penanaman dana dalam aktiva tetap dan investaris (premisis dan equipment).

Sumber Pendapatan Bank Syariah


Portofolio pembiayaan pada bank komersial menempati porsi terbesar, pada umumnya sekitar 55-60% dari total aktiva. Dari pembiayaan yang dikeluarkan atau disalurkan bank diharapkan dapat mendapatkan hasil. Tingkat penghasilan dari pembiayaan (yield on financing) merupakan tingkat penghasilan tertinggi bagi bank (Muhammad, 2005). Dengan demikian sumber pendapatan bank syariah dapat diperoleh dari:
  • Bagi hasil atas kontrak mudharabah dan kontrak musyarakah.
  • Keuntungan atas kontrak jual beli (AL-Ba'i)
  • Hasil sewa atas konstrak ijarah dan ijarah wa Iqtina.
  • Fee dan biaya administrasi jasa-jasa lainnya.

Instrumen Keuangan Syariah

Instrumen Keuangan Syariah dapat dikelompokkan menjadi:
a. Akad investasi yang merupakan jenis akad tijarah dengan bentuk uncertainty contract. Kelompok ada ini adalah:
  1. Mudharabah, yaitu bentuk kerja sama antar dua pihak atau lebih dimana pemilik modal (shahibul maal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha dengan nisbah bagi hasil atas keuntungan yang diperoleh menurut kesepakatan di muka, sedangkan apabila terjadi kerugian hanya ditanggung pemilik dana sepanjang tidak ada unsur kesengajaan atau kelalaian oleh mudharib. Bentuk ini menegaskan kerja sama dalam kontribusi 100% modal dari pemilik modal dan keahlian dari pengelola.
  2. Musyarakah adalah akad kerja sama yang terjadi antara para pemilik modal (mitra musyarakah) untuk menggabungkan modal dan melakukan usaha secara bersama dalam suatu kemitraan, dengan nisbah bagi hasil sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung secara proporsional sesuai dengan kontribusi modal. Bentuk kontribusi dari pihak yang bekerja sama dapat berupa dana, barang dagangan (trading asset), kewiraswastaan (entrepreneurship) atau hak paten/goodwill (intangible asset), kepercayaan atau reputasi.
  3. Sukuk (obligasi syariah), merupakan surat utang yang sesuai dengan prinsip syariah.
  4. Saham syariah produknya harus sesuai syariah. Syarat lainnya adalah: perusahaan tsb memiliki piutang dagang yang relatif kecil dibandingkan total asetnya (Dow Jones Islamic: kurang dari 45%, perusahaan tsb memiliki utang kecil dibandingkan dengan nilai kapitalisasi pasar (Dow Jones Islamic: kurang dari 33%), dan perusahaan memiliki pendapatan bunga kecil (Dow Jones Islamic kurang dari 5%.
b. Akad jual beli/sewa menyewa yang merupakan jenis akad tijarah dengan bentuk certainty contract. Kelompok akad ini antara lain:
  1. Murabahah adalah transaksi penjualan barang dengan menyatakan biaya perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati antara penjual dan pembeli. Harga disepakati antara pembeli dan penjual pada saat transaksi dan tidak boleh diubah.
  2. Salam adalah transaksi jual beli dimana barang yang diperjualbelikan belum ada. Barang diserahkan secara tangguh, sedangkan pembayaran dilakukan secara tunai. Sekilas transaksi ini mirip ijon, namun dalam transaksi ini kuantitas, kualitas, harga dan waktu penyerahan barang harus ditentukan secara pasti.
  3. Istishna' memiliki sistem yang mirip dengan salam, namun dalam istishna' pembayaran dapat dilakukan di muka, cicilan dalam beberapa kali (termin) atau ditangguhkan selama jangka waktu tertentu. Biasanya istishna' diaplikasikan pada pembayaran manufaktur dan konstruksi dengan kontrak pembelian barang melalui pesanan (order khusus). Pembeli menugasi produsen (Al-Sani') untuk menyediakan barang pesanan (Al-Mashnu) sesuai spesifikasi yang disyaratkan pembeli (Al-Mustasni') dan menjualnya dengan harga yang disepakati.
  4. Ijarah adalah akad sewa menyewa antara pemilik obyek sewa dan penyewa untuk mendapatkan manfaat atas obyek sewa yang disewakan.
c. Akad lainnya
  1. Sharf adalah perjanjian jual beli suatu valuta dengan valuta lainnya. Transaksi jual beli mata uang asing (valuta asing) dapat dilakukan baik dengan sesama mata uang yang sejenis (misalnya rupiah dengan rupiah) maupun yang tidak sejenis (misalnya rupiah dengan dolar atau sebaliknya).
  2. Wadiah adalah akad penitipan dari pihak yang mempunyai uang/barang kepada pihak yang menerima titipan dengan catatan kapanpun titipan diambil pihak penerima titipan wajib menyerahkan kembali uang/barang titipan tsb. Wadiah terbagi menjadi dua, yaitu  wadiah amanah dan wadiah yadhamanah. Wadiah amanah yaitu akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima titipan tidak diperkenankan menggunakan barang/uang yang dititipkan dan tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan barang titipan yang bukan diakibatkan perbuatan atau kelalaian penerima titipan. Adapun aplikasinya dalam perbankan syariah berupa produk safe deposit box. Sedangkan wadiah yadhamanah adalah akad penitipan barang atau uang dimana pihak penerima titipan dengan atau tanpa izin pemilik barang/uang dapat memanfaatkan barang/uang titipan dan harus bertanggung jawab terhadap kehilangan atau kerusakan barang/uang titipan. Semua manfaat dan keuntungan yang diperoleh dalam penggunaan barang/uang titipan menjadi hak penerima titipan. Prinsip ini diaplikasikan dalam produk giro dan tabungan.
  3. Qardhul hasan adalah pinjaman yang tidak mempersyaratkan adanya imbalan, waktu pengembalian pinjaman. Biaya administrasi dalam jumlah yang terbatas diperkenankan untuk dibebankan kepada peminjam.
  4. Al-Wakalah adalah jasa pemberian kuas dari satu pihak ke pihak lain. Untuk jasanya itu, yang dititipkan dapat memperoleh fee sebagai imbalan,
  5. Kafalah adalah perjanjian pemberian jaminan atau penanggungan atas pembayaran utang satu pihak kepada pihak lain.
  6. Hiwalah adalah pengalihan utang atau piutang dari pihak pertama kepada pihak lain atas dasar saling mempercayai.
  7. Rahn, merupakan suatu perjanjian pinjaman dengan jaminan aset. Berupa penahanan harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya.




DAFTAR PUSTAKA




Arifin, Zainul. 2009. Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah. Tangerang:Azkia Publisher.
Muhammad. 2005. Manajemen Bank Syariah. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.






Adsense Indonesia

Selasa, 03 Maret 2015

Definisi AKUNTANSI BIAYA dan Cara Penggolongan Biaya

REVIEW


Akuntansi Biaya


Cara Penggolongan Biaya

Dalam akuntansi biaya, biaya digolongkan dengan berbagai macam cara. Umumnya penggolongan biaya ini ditentukan atas dasar tujuan yang hendak dicapai dengan penggolongan tsb, karena dalam akuntansi biaya dikenal konsep " different costs for different purpose" (Mulyadi, 1993). Menurut (Mulyadi, 1993) dan Harnanto & Zulkifli (2003), biaya dapat digolongkan menurut:
  1. Obyek pengeluaran.
  2. Fungsi pokok dalam perusahaan.
  3. Hubungan biaya dengan sesuatu yang dibiayai.
  4. Perilaku biaya dalam hubungannya dengan perubahan volume kegiatan.
  5. Jangka waktu manfaatnya.


A. Penggolongan biaya Menurut  Obyek Pengeluaran

Dalam cara penggolongan ini, nama obyek pengeluaran merupakan dasar penggolongan penggolongan biaya. Misalnya nama obyek pengeluaran adalah bahan bakar, maka semua pengeluaran yang berhubungan dengan bahan bakar disebut "biaya bahan bakar". Contoh penggolongan biaya atas dasar obyek penegeluaran dalam perusahaan kertas adalah sebagai berikut: biaya merang, biaya jerami, biaya gaji dan upah, biaya soda, biaya depresiasi mesin, biaya asuransi, biaya bunga, dan biaya zatwarna (Mulyadi, 1993).


B. Penggolongan Biaya menurut Fungsi Produksi Pokok dalam Perusahaan

Menurut Mulyadi (1993), dalam perusahaan manufaktur, ada tiga fungsi pokok, yaitu fungsi produksi, fungsi pemasaran, dan fungsi administrasi dan umum. Oleh karena itu dalam perusahaan manufaktur, biaya dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok:

1. Biaya Produksi, merupakan biaya-biaya yang terjadi untuk mengolah bahan baku menjadi produk jadi yang siap untuk dijual. Contohnya adalah biaya depresiasi mesin dan ekuipmen, biaya bahan baku, biaya bahan penolong, biaya gaji karyawan yang bekerja dalam bagian-bagian, baik yang langsung maupun yang tidak langsung berhubungan dengan proses produksi. Menurut obyek pengeluarannya, secara garis besar biaya produksi ini dibagi menjadi: biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung, dan biaya overhead pabrik (factory overhead cost). Baiaya bahan baku dan biaya tenaga kerja langsung disebut pula dengan biaya utama (prime cost), sedangkan biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead pabrik disebut dengan biaya konversi (convertion cost), yang merupakan biaya untuk mengkonversi (mengubah) bahan baku menjadi produk jadi. 
  • Biaya bahan baku, adalah biaya yang dikeluarkan untuk membeli bahan yang menjadi bagian pokok dari produksi selesai. Contoh, perusahaan mebel membuat meja dan kursi bahan bakunya adalah kayu, maka pengeluaran uang untuk membeli kayu tsb akan menjadi biaya bahan baku.
  • Biaya tenaga kerja langsung, merupakan biaya yang dikeluarkan untuk membayar tenaga kerja yang langsung menangani proses produksi. Misalnya pada perusahaan mebel biaya tukang kayu.
  • Biaya overhead pabrik, adalah biaya yang dikeluarkan bagian produksi selain biaya bahan baku dan biaya tenaga kerja langsung, seperti biaya bahan penolong, gaji mandor, biaya tenaga kerja tidak langsung lainnya, perlengkapan (supplies) pabrik, penyusutan, listrik dan air, biaya pemeliharaan dan suku cadang, dll biaya di pabrik (Sutrisno, 2000).
2. Biaya Pemasaran, merupakan biaya-biaya yang terjadi untuk melaksanakan kegiatan pemasaran produk. Contohnya adalah biaya iklan, biaya promosi, biaya angkutan dari gedung perusahaan ke gudang pembeli, gaji karyawan bagian-bagian yang melaksanakan kegiatan pemasaran, dan biaya contoh (sample). Menurut Hansen dan Mowen (2001), biaya pemsaran adalah biaya-biaya yang diperlukan untuk memasarkan produk atau jasa, meliputi biaya gaji dan komisi tenaga penjual, biaya iklan, biaya pergudangan dan biaya pelayanan pelanggan. menurut Henry Simamora (2002), biaya pemasaran atau penjualan (marketing cost) meliputi semua biaya yang dikeluarkan untuk mendapat pesanan pelanggan dan menyerahkan produk atau jasa ke tangan pelanggan. 
Mulyadi (2005) menggolongkan biaya pemasaran menjadi dua golongan, yaitu:
  • Order getting cost (biaya untuk mendapatkan pesanan), yaitu semua biaya yang dikeluarkan dalam usaha untuk memperoleh pesanan. Contohnya: biaya gaji dan wiraniaga, komisi penjualan, advertensi, dan promosi.
  • Order filling cost (biaya untuk memenuhi pesanan), yaitu semua biaya yang dikeluarkan dalam rangka mengusahakan agar produk sampai ke tangan pembeli/konsumen. Contohnya: biaya pergudangan, biaya pengangkutan, dan biaya penagihan.
3. Biaya Administrasi dan Umum, merupakan biaya-biaya untuk mengkoordinasi kegiatan produksi dan pemasaran produk. Contoh biaya ini adalah biaya gaji karyawan bagian keuangan, akuntansi, personalia dan bagian hubungan masyarakat, biaya pemeriksaan akuntan, biaya fotocopy. Jumlah biaya pemasaran dan biaya administrasi dan umum sering disebut biaya komersial (commercial expenses).


C. Penggolongan Biaya menurut Hubungan Biaya dengan Sesuatu yang Dibiayai

Mulyadi (1993) menyatakan bahwa, sesuatu yang dibiayai dapat berupa produk atau departemen. Dalam hubungannya dengan sesuatu yang dibiayai, biaya dapat dikelompokkan menjadi dua golongan:
1. Biaya langsung (direct cost), adalah biaya yang terjadi, yang penyebab satu-satunya adalah karena adanya sesuatu yang dibiayai. Jika sesuatu yang dibiayai tsb tidak ada, maka biaya langsung ini tidak akan terjadi. Dengan demikian biaya langsung akan mudah diidentifikasikan dengan sesuatu yang dibiayai. 
Biaya produksi langsung terdiri dari biaya bahan baku dan biaya tenaga kerja langsung. Biaya langsung departemen (direct department cost) adalah semua biaya yang terjadi di dalam departemen tertentu. Contohnya adalah biaya tenaga yang bekerja dalam Departemen pemeliharaan merupakan biaya langsung departemen bagi Departemen Pememliharaan dan biaya depresiasi mesin yang dipakai dalam departemen tsb merupakan biaya langsung bagi departemen tsb.
2. Biaya tidak langsung (indirect cost), adalah biaya yang terjadinya tidak hanya disebabkan oleh sesuatu yang dibiayai. Biaya tidak langsung dalam hubungannya dengan produk disebut dengan istilah biaya produksi tidak langsung atau biaya overhead pabrik. Biaya ini tidak mudah dididentifikasikan dengan produk tertentu. Gaji mandor yang mengawasi pembuatan produk A, B, dan C merupakan biaya tidak langsung bagi baik produk A, B, maupun C, karena gaji mandor tsb terjadi bukan hanya karena perusahaan memproduksi salah satu produk tsb, melainkan karena memproduksi ketiga jenis produk tsb. Jika perusahaan hanya menghasilkan satu macam produk (misalnya perusahaan semen, pupuk urea, gula) maka semua biaya merupakan biaya langsung dalam hubungannya dengan produk. 
Biaya tidak langsung dalam hubungannya dengan produk sering disebut dengan istilah biaya overhead pabrik. Dalam hubungannya dengan departemen, biaya tidak langsung adalah biaya yang terjadi di suatu departemen, tetapi manfaatnya dinikmati oleh lebih dari satu departemen. Contohnya adalah biaya yang terjadi di Departemen Pembangkit Tenaga Listrik. Biaya ini dinikmati oleh departemen-departemen lain dalam perusahaan, baik untuk penerangan maupun untuk menggerakkan mesim dan ekuipmen yang mengkonsumsi listrik. Bagi departemen pemakai listrik, biaya listrik yang diterima dari alokasi biaya departemen pembangkit tenaga listrik merupakan biaya tidak langsung departemen.


D. Penggolongan Biaya Menurut Perilakunya dalam Hubungannya dengan perubahan Volume Kegiatan

Menurut Mulyadi (1993), dalam hubungannya dengan perubahan volume kegiatan, biaya dapat digolongkan menjadi:
1. Biaya variabel, adalah biaya yang jumlah totalnya berubah sebanding dengan perubahan volume kegiatan. Contoh biaya variabel adalah biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung. 
2. Biaya semivariable, adalah biaya yang berubah tidak sebanding dengan perubahan volume kegiatan. Biaya semivariable mengandung unsur biaya tetap dan biaya variabel. Contoh biaya ini adalah gaji salesman yang dibayar secara tetap dan prosentase tertentu dari hasil penjualan.
3. Biaya semifixed, adalah biaya yang tetap untuk tingkat volume kegiatan tertentu dan berubah dengan jumlah yang konstan pada volume produksi tertentu. Contoh biaya penelitian, biaya pemeriksaan dan pengawasan produksi.
4. Biaya tetap, adalah biaya yang jumlah totalnya tetap dalam kisar volume kegiatan tertentu. Contoh biaya tetap adalah gaji direktur produksi, biaya penyusutan, gaji direksi, walupun perusahaan tidak berproduksi, maka biaya ini akan tetap ditanggung oleh perusahaan. Ciri biaya tetap adalah biaya yang secara total tetap tapi per unitnya berubah-ubah.


E. Penggolongan Biaya atas Dasar Jangka Waktu Manfaatnya

Atas dasar jangka waktu manfaatnya, biaya dapat dibagi menjadi dua: pengeluaran modal dan pengeluran pendapatan.
  • Pengeluaran modal (capital expenditure), adalah biaya yang mempunyai manfaat lebih dari satu periode akuntansi (biasanya periode akuntansi adalah satu tahun kalender). Pengeluaran modal ini pada saat terjadinya dibebankan sebagai harga pokok aktiva, dan dibebankan dalam tahun-tahun yang menikmati manfaatnya dengan cara didepresiasi, diamortisasi, dan dideplesi. Contoh pengeluaran modal adalah pengeluaran untuk pembelian aktiva tetap, untuk reparasi besar terhadap aktiva tetap, untuk promosi besar-besaran, dan pengeluaran untuk riset dan pengembangan suatu produk. karen apengeluaran untuk keperluan tsb biasanya melibatkan jumlah yang besar dan memilikimasa manfaat lebih dari satu tahun, maka pada saat pengeluaran tsb dilakukan, pengorbanan tsb diperlakukan sebagai pengeluaran modal dan dicatat sebagai harga pokok aktiva (misalnya sebgai harga pokok aktiva tetap atau beban yang ditangguhkan). Periode akuntansi yang menikmati manfaat pengeluaran modal tsb dibebani sebagian pengeluaran modal tsb berupa biaya depresiasi, biaya amortisasi, atau biaya deplesi.
  • Pengeluaran pendapatan (revenue expenditure), adalah biaya yang hanya mempunyai manfaat dalam periode akuntansi terjadinya pengeluran tsb. Pada saat terjadinya, pengeluaran pendapatan ini dibebankan sebagai biaya dan dipertemukan dengan pendapatan yang diperoleh dari pengeluaran biaya tsb. Contoh pengeluaran pendapatan antara lain biaya iklan, biaya telex, dan biaya tenaga kerja (mulyadi, 1993)


F. Hubungannya dengan Perencanaan, Pengendalian, dan Pembuatan Keputusan.

Harnanto dan Zulkifli (2003) menyatakan, biaya ini dikelompokkan ke dalam golongan, yaitu:
1. Biaya standar dan Biaya dianggarkan
  • Biaya standar, merupakan biaya yang ditentukan di muka (predetermine cost) yang merupakan jumlah biaya yang seharusnya dikeluarkan untuk menghasilkan satu unit produk.
  • Biaya yang dianggarkan, merupakan perkiraan total pada tingkat produksi yang direncanakan.
2. Biaya terkendali dan biaya tidak terkendali
  • Biaya terkendali (controllable cost), merupakan biaya yang dapat dipengaruhi secara signifikan oleh manajer tertentu.
  • Biaya tidak terkendali (uncontrollable cost), merupakan biaya yang tidak secara langsung dikelola oleh otoritas manajer tertentu.
3. Biaya tetap commited dan discretionary
  • Biaya tetap commited, merupakan biaya tetap yang timbul dan jumlah maupun pengeluarannya dipengaruhi oleh pihak ketiga dan tidak bisa dikendalikan oleh manajemen.
  • Biaya tetap discretionary, merupakan biaya tetap yang jumlahnya dipengaruhi oleh keputusan manajemen.
4. Biaya variabel teknis dan biaya kebijakan
  • Biaya variabel teknis (engineered variable cost), adalah biaya variabel yang sudah diprogramkan atau distandarkan seperti biaya bahan baku dan biaya tenaga kerja langsung.
  • Biaya variabel kebijakan (discretionary variable cost) adalah biayavariabel yang tingkat variabilitasnya dipengaruhi oleh kebijakan manajemen.
5. Biaya relevan dan biaya tidak relevan
  • Biaya relevan (relevant cost), dalam pembuatan keputusan merupakan biaya yang secara langsung dipengaruhi oleh pemilihan alternatif tindakan oleh manajemen.
  • Biaya tidak relevan (irrelevant cost), merupakan biaya yang tidak dipengaruhi oleh keputusan manajemen.
6. Biaya terhindarkan dan Biaya tidak terhindarkan
  • Biaya terhindarkan (avoidable cost) adalah biaya yang dapat dihindari dengan diambilnya suatu alternatif keputusan.
  • Biaya tidak terhindarkan (unavoidable cost) adalah biaya yang tidak dapat dihindari pengeluarannya.
7. Biaya diferensial dan biaya marjinal
  • Biaya diferensial (differential cost), adalah tambahan total biaya akibat adanya tambahan penjualan sejumlah unit tertentu.
  • Biaya marjinal (marginal cost), adalah biaya dimana produksi harus sama dengan penghasilan marjinal jika ingin memaksimalkan laba.
8. Biaya kesempatan (opportunity cost), merupakan pendapatan atau penghematan biaya yang dikorbankan sebagai akibat dipilhnya alternatif tertentu dari beberapa alternatif yang ada.



PENYUSUTAN ASET BERWUJUD   Pengertian penyusutan menurut PSAK  Nomor 17 adalah alokasi jumlah suatu aset yang dapat disusutkan sepanjan...